Permintaan dan Prospek Penguatan Harga Komoditas Tahun Ini

Permintaan dan Prospek Penguatan Harga Komoditas Tahun Ini

Gambaran dampak kenaikan harga komoditas terhadap biaya produksi sektor industri pengguna.

Liramedia.co.id - Tren harga komoditas dunia menunjukkan pemulihan sejak semester kedua 2020 di tengah berakhirnya karantina wilayah (lockdown) fase awal oleh sejumlah negara akibat pandemi Covid-19. DBS Bank Ltd., (Bank DBS) memperkirakan kenaikan harga dan inflasi komoditas akan terus berlanjut di tahun 2021 dan memengaruhi margin produsen sektor hulu maupun industri hilir.

DBS Group Research dalam laporan Regional Industry Focus bertajuk Commodity Inflation Analysis memaparkan, sebagian besar komoditas seperti, logam, energi, dan pertanian mengalami masa sulit pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Kondisi ini mengakibatkan penurunan aktivitas perekonomian.

Meski begitu, tanda-tanda pemulihan dan kenaikan tajam mulai terlihat sejak akhir 2020 dan diperkirakan terus berlanjut hingga 2021. Bank DBS mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi penguatan ini, seperti pemulihan global yang sedang berlangsung sehingga mendorong naiknya permintaan komoditas secara tajam dan kembali pada kondisi sebelum Covid-19.

Peningkatan permintaan ini terutama dipicu oleh pemulihan awal ekonomi Tiongkok dan rencana belanja infrastruktur Amerika Serikat (AS). Kemudian, kebijakan moneter ekspansif dan stimulus fiskal oleh pemerintah di seluruh dunia, khususnya AS sehingga mendorong ekspektasi inflasi dan pelemahan dolar.

Faktor lain yang menyebabkan lonjakan harga yaitu adanya hambatan rantai pasok komoditas tertentu seiring pembatasan mobilitas selama pandemi Covid-19 serta cuaca ekstrem di wilayah tertentu.

"Meskipun ada moderasi harga komoditas pada paruh kedua 2021 setelah kenaikan akhir-akhir ini, harga rata-rata komoditas pada 2021 akan lebih tinggi dibandingkan 2020," tulis DBS Group Research dalam laporannya dikutip Rabu (18/8).

Tingginya harga komoditas, diperkirakan bakal menguntungkan produsen komoditas hulu. Sementara sektor hilir, prospek margin mungkin tidak seburuk yang diperkirakan, karena dengan permintaan yang lebih tinggi pada produk akhir, sebagian biaya produksi bahan baku ini dapat dialihkan ke pelanggan.

"Industri hilir kami percaya sektor penerbangan, konstruksi, semen, kilang akan sulit meneruskan kenaikan biaya. Sementara sektor otomotif, perangkat keras teknologi, galangan kapal, konsumsi makanan minuman (Food & Beverage) akan lebih mengelola margin di tengah meningkatnya permintaan konsumen akhir," tulis laporan tersebut.

Outlook Komoditas

Bank DBS memberikan pandangan mengenai beberapa komoditas yang akan mengalami pergerakan signifikan di tahun 2021 ini, serta sejumlah faktor pendorong dan industri-industri yang terdampak.

  1. Baja 

Harga patokan HRC (Hot Rolled Coil) dunia dan Tiongkok (tidak termasuk PPN) masing-masing naik 59% dan 35% menjadi US$1.069/ton dan US$785/ton pada awal tahun hingga 19 Mei 2021. Harga baja akan terus didukung oleh kenaikan permintaan baja global sebesar 6,2% pada tahun ini yang terdorong oleh Rancangan Undang-undang (RUU) infrastruktur AS dan pemulihan ekonomi.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah Tiongkok dapat menyebabkan persaingan pasokan di pasar menjadi lebih ketat. "Kami perkirakan harga baja akan melemah di semester kedua 2021 di mana bijih besi  harganya akan turun karena peningkatan pasokan dari pertambangan. Rata-rata harga patokan HRC dunia dan harga HRC domestik Tiongkok masih diproyeksikan naik 47% dan 37% secara tahunan (year on year) pada 2021," tulis analis DBS Group Research, Lee Eun Young dalam laporannya.

Baja dan aluminium merupakan komponen utama pembuatan kendaraan. Selain baja, pabrikan (Original Equipment Manufacturer/OEM) kendaraan akhir-akhir ini banyak menggunakan aluminium dalam produksi kendaraan guna mengurangi berat kendaraan sekaligus menurunkan emisi CO2.

Bahan baku baja diperkirakan menyumbang sekitar 75% terhadap total biaya produksi kendaraan. Oleh sebab itu, Bank DBS percaya OEM mobil mungkin tidak dapat meneruskan kenaikan biaya produksi secara penuh kepada konsumen.

  1. Tembaga

Harga tembaga  meningkat 28% menjadi US$10.115/ton per 19 Mei 2021 atau meningkat lebih dari dua kali lipat dari titik terendahnya di level US$4.618/ton pada 23 Maret 2020. Pasar tembaga diperkirakan tetap defisit 248 ribu ton dan 206 ribu ton pada tahun 2021 dan 2022. Angka ini menyusut dari defisit 2020 sebesar 420 ribu ton.

Bank DBS memperkirakan harga tembaga akan melemah di semester kedua tahun ini akibat  peningkatan produksi untuk proyek-proyek baru dengan banyak kapasitas peleburan di Tiongkok dan memperlambat spekulasi investasi karena tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan begitu, harga tembaga rata-rata diperkirakan naik 26,2% secara tahunan (year on year) di level US$7.800/ton pada tahun 2021 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

  1. Minyak

Pemulihan tajam permintaan minyak global pasca pembatasan mobilitas yang dikombinasikan dengan pemangkasan produksi OPEC, menyebabkan ketatnya pasar di awal tahun. Persediaan minyak global pun menyusut hingga di bawah tingkat rata-rata. Bank DBS memperkirakan harga rata-rata minyak mentah Brent akan tetap meningkat di rentang US$ 65-70/bbl hingga 2022, seiring pemulihan permintaan menuju ke level sebelum pandemi Covid-19. 

  1. CPO

Harga minyak sawit mentah (CPO) Malaysia naik 250% dari titik terendah pada saat pandemi Maret 2020 dan saat ini menyentuh level tertinggi di level RM4.500 per metrik ton (MT). Harga tinggi ini kemungkinan bisa bertahan sementara waktu dengan pasokan dan permintaan yang ketat.

Harga minyak kedelai dan minyak nabati lainnya juga membuat harga CPO menguat. Meskipun terjadi reli, harga CPO masih US$300 per ton di bawah minyak kedelai. "Asumsi kami harga CPO 2021 berada di US$617 per MT," ujar analis DBS Group Research. 

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan akan terus mencermati dinamika perkembangan harga komoditas serta perekonomian global yang berkaitan asumsi makro dalam RAPBN tahun 2022. Alasannya, harga komoditas global tak akan terus menerus tinggi sehingga mendukung lonjakan ekspor Indonesia. 

Sedangkan terkait situasi global, pertumbuhan negara yang memengaruhi ekonomi negara seperti Eropa dan Tiongkok, menurut Sri Mulyani juga harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi sejumlah indikator perekonomian. "Dalam asumsi makro, ini bisa mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan suku bunga," ujarnya pada rapat kerja Komisi XI dengan pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (8/6).

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati asumsi dasar ekonomi makro dan target pembangunan tahun 2022 pada Selasa (8/6). Seluruh target tersebut akan menjadi dasar penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun depan.

"Rapat kerja Komisi XI dengan pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan menyepakati besaran dasar asumsi makro dan target pembangunan 2022," kata Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto yang disambut kata setuju oleh seluruh anggota dalam rapat kerja bersama pemerintah, BI, dan OJK, Selasa (8/6). 

Pertumbuhan ekonomi dipatok dalam kisaran 5,2-5,8% pada tahun depan. Kemudian, nilai tukar rupiah akan tetap stabil di antara Rp 13.900-15.000 per dolar AS dan tingkat suku bunga surat berharga negara tenor 10 tahun akan ditekan dalam rentang 6,32-7,27%.

Dito mengatakan, pemerintah dan otoritas moneter diharapkan dapat mengoptimalkan momentum saat ini, di mana terjadi penguatan nilai tukar, aliran masuk modal asing, dan cadangan devisa yang meningkat. "Sehingga momentum tersebut bisa terus menjaga stabilitas kurs Garuda yang berkelanjutan sesuai dengan nilai fundamentalnya," ujarnya.

Perkembangan perekonomian global bergerak dinamis. Bank DBS menyediakan layanan lengkap untuk nasabah, SME dan juga perusahaan untuk membantu memahami seluk-beluk bisnis.. (rls)

 

Image