Upaya Mengatasi Perburuan Ikan Hiu dan Pari (3-habis)

Upaya Mengatasi Perburuan Ikan Hiu dan Pari (3-habis)

BKIPM Banjarmasin menggagalkan pengiriman illegal sirip hiu sebanyak 1540 / 3kl yg dikirim dg Paket dengan dok gelembung renang ikan (Doc. BKIPM)

Liramedia.co.id, SURABAYA - Amanat Trisakti dan Nawa Cita dari Rezim Presiden Jokowi adalah mendukung terwujudnya Redistribusi Keadilan dengan target Gini Ratio 0,3 melalui sektor unggulan nasional “kemaritiman, Kelautan” dan “Kedaulatan Pangan”. Oleh karena itu paradigma pembangunan kelautan dan perikanan adalah (1) Pertumbuhan, (2) Pemerataan, dan (3) Modernisasi.

Pertumbuhan yang dimaksud adalah bagaimana upaya Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP) untuk dapat meningkatkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pemerataan pembangunan akan dilakukan dengan memberikan peluang bagi usaha skala kecil untuk maju dan mandiri dengan tetap memelihara keberlanjutan usaha skala besar.

Modernisasi dimaksudkan agar seluruh usaha yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah yang optimal di dalam negeri. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbaharukan (perikanan, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang harus dikelola dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Seiring dengan kegiatan penangkapan ikan, kegiatan budi daya ikan, perlindungan ikan dan konservasi ikan terutama ikan yang dilindungi dan terancam punah juga harus ditingkatkan. Jangan sampai masyarakat hanya diajak untuk menangkap ikan sebanyakbanyaknya demi tercapainya pertumbuhan ekonomi namun dengan mengabaikan kondisi ekosistem.

Apalagi, dengan banyaknya penangkapan ikan hiu dan pari oleh nelayan untuk kepentingan komersial, maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem laut, akibatnya ikan-ikan kecil dan sedang yang notabene adalah ikan tangkapan nelayan menjadi berkurang. Hal ini tentunya berakibat pada semakin menurunnya jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan, akibat terburuknya adalah kebutuhan konsumsi ikan secara nasional menjadi tidak dapat terpenuhi, sehingga mau tidak mau pemerintah harus impor ikan untuk kebutuhan konsumsi nasional.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka pemerintah harus membuat kebijakan dalam melindungi ikan hiu dan ikan pari agar tidak menjadi tangkapan nelayan untuk keperluan komersial. Berbagai upaya dapat dilakukan baik secara preventif maupun represif, namun kenyataannya perusakan ekosistem laut masih tetap terjadi bahkan semakin meningkat dari tahun ketahuan yang salah satunya adalah perburuan ilegal ikan hiu untuk keperluan komersial.

Jika dilihat sebelumnya telah banyak regulasi baik nasional maupun internasional yang telah memberikan status perlindungan terhadap ekosistem ikan hiu disertai dengan penegakan hukumnya yaitu sanksi pidana dan denda. Pertama dengan cara represif, yaitu dengan membuat regulasi baik nasional maupun regulasi tingkat daerah yang memberikan sanksi yang sangat tinggi kepada para pelaku perburuan ikan hiu.

Namun sanksi yang diberikan ternyata tidak membuat mereka jera, oleh sebab itu selain dengan cara represif perlu juga dilakukan melalui cara yang preventif. Salah satunya yaitu dengan memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada nelayan mengenai jenis-jenis ikan apa saja yang boleh ditangkap dan tidak boleh ditangkap disertai dengan sanksinya.

Meskipun secara tegas undang-undang melarang perburuan ikan hiu jenis martil maupun jenis koboi yang sudah dilarang secara global, namun karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan maka para nelayan dapat tidak sadar jika yang ditangkapnya adalah jenis tersebut.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang untuk hal ini, karena disebutkan dalam pasal 29 ayat (5) tersebut bahwa; “strategi percepatan pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi prioritas pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di laut, percepatan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial budaya, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan hukum adat terkait pengelolaan laut, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan”.

Di sini jelas bahwa salah satu prioritas percepatan pembangunan daerah adalah pengembangan sumber daya laut dan pengembangan sumber daya manusia yang dapat diperoleh melalui pendidikan.

Sementara itu, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan juga memberi peluang untuk hal ini, karena disebutkan dalam pasal 35 ayat (1) tersebut bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan.

Pendidikan di sini diartikan secara luas tidak hanya pada pegawai kementrian dan kelautan tetapi juga masyarakat termasuk di dalamnya para nelayan.

Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan melihat ketentuan Pasal 36 ayat (1) dimana pemerintah juga menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia dan kebijakan bahari yang termasuk di dalamnya memuat peningkatan pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.

Pemerintah juga harus mengembangkan penelitian untuk pengembangbiakan jenis ikan hiu tertentu yang terancam punah yang dapat dilakukan melalui konservasi jenis ikan sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Ikan.

Pasal 22 menyebutkan bahwa konservasi ikan dapat dilakukan melalui; (1) penggolongan jenis ikan; (2) Penetapan status perlindungan jenis ikan; (3) pemeliharaan; (4) pengembangbiakan; (5) penelitian dan pengembangan.

Dalam kaitannya dengan perburuan oleh nelayan di Raja Ampat, pemerintah Raja Ampat untungnya sudah mulai memikirkan hal ini dengan membuat wilayah konservasi. Menteri Kelautan dan perikanan telah menetapkan kepulauan Raja ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional melalui Keputusan Menteri KP No. 64/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat serta Keputusan Menteri KP No. 65/Men/2009 tentang penetapan kawasan konservasi nasional kepulauan Waigeo sebelah barat dan laut di sekitarnya di provinsi Papua Barat.

Namun karena jumlah hasil yang dibudidayakan tidak sebanding dengan yang diburu oleh nelayan, maka ini yang menyebabkan jumlah ikan hiu di daerah perairan raja Ampat menjadi berkurang.

Selain itu, pemerintah melalui kewenangannya juga seharusnya tidak hanya berfokus pada pelarangan perburuan ikan hiu untuk komersial, tetapi juga harus menertibkan pihak mana saja yang memanfaatkan hasil perburuan tersebut untuk kepentingan komersial, misalnya restoran, produk kosmetik, obat-obatan tradisional dan sebagainya.

Apabila diperlukan, pemerintah harus membuat regulasi yang melarang restoran menyajikan hidangan dengan bahan dasar ikan hiu ataupun kosmetik-kosmetik berbahan bagian tubuh ikan hiu. Karena alasan inilah yang menjadikan permintaan pasar terhadap ikan hiu dan pari semakin meningkat yang mengakibatkan nelayan tidak berpikir dua kali untuk menangkap ikan hiu di laut.

Ditambah lagi harga ikan hiu dan ikan pari saat ini dihargai lebih tinggi daripada hasil tangkapan ikan biasa Terakhir, sangat menarik untuk disimak kembali dalam Pasal 22 Perda Kabupaten Raja Ampat Nomor 9 tahun 2012 tentang Larangan Penangkapan Ikan Hiu dan Pari Manta dan jenis-Jenis Ikan Tertentu di Perairan raja Ampat.

Dalam Pasal 22 ini memuat sanksi sosial oleh masyarakat setempat. Sanksi ini dapat dijadikan sebagai jalan terakhir apabila para nelayan nekat melakukan perburuan terhadap ikan hiu dan ikan pari yang dilindungi, meskipun dalam Perda ini tidak dijelaskan mengenai sanksi sosial seperti apa yang nantinya diberikan.

Namun, jika ternyata sanksi sosial ini efektif diterapkan maka dapat dijadikan rujukan dan pilot project bagi daerah lain di Indonesia dalam pembangunan hukum adat terkait pengelolaan laut. (*)

Penulis :  Zaka Firma Aditya, Sholahuddin Al-Fatih (Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga)

Image