Liramedia
Bank Indonesia (BI) melihat berbagai risiko ketidakpastian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik ke depan. Pertumbuhan kredit perbankan juga menuju batas bawah 11-13 persen di 2025.
Kepala Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman mengatakan bahwa alasan utama untuk revisi proyeksi pertumbuhan kredit adalah masalah pada permintaannya. Menurutnya, hal ini terkait dengan sektor bisnis dan korporasi. Hal tersebut bukan disebabkan oleh pengendalian likuiditas bank. Ini dia poin-poin penting setelah laporan kerja tahunan Citibank Indonesia 2024 di daerah Sudirman, Jakarta, Jumat (25/4).
Menurut dia, sektor-sektor yang berorientasi ekspor, mungkin kebutuhan modal kerjanya tidak sebesar biasanya. Sejalan dengan perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan pelemahan permintaan dari luar negeri.
Ditambah kalau memang The Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga, maka korporasi-korporasi besar mungkin kembali mencari financing ke luar negeri. “Perkiraan kami penurunan Fed funds rate (FFR) akan terjadi mulai Juni. Kami perkirakan sekitar 5 kali penurunan selama 2025. Untuk BI, ketika The Fed sudah mulai menurunkan suku bunganya, maka ruang untuk penurunan BI rate juga akan lebih terbuka. Kami memperkirakan 3 kali turun untuk BI rate,” terang Helmi.
Permintaan dari kredit dalam negeri, lanjut dia, akan tergantung dari kinerja ekspor dan kinerja investasi. Yang mana akan sangat bergantung dengan hasil dari negosiasi Indonesia kepada AS terkait implementasi tarif ini.
Di masa mendatang, bank sentral mengingatkan bahwa beberapa ancaman tidak pasti dari luar negeri serta pengaruhnya pada ekonomi dalam negeri harus dipantau dengan cermat. Hal ini bisa berdampak pada perkiraan permintaan pinjaman dan kecenderungan menempatkanaset yang mudah dialihkan di sektor perbankan.
“Perry mengatakan Bank Indonesia meramalkan pertumbuhan kredit perbankan akan mendekati batas bawah jangkauannya sebesar 11 hingga 13 persen di tahun 2025,” demikian ungkapnya.
Terkait penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis sejumlah lembaga internasional, Helmi menilai wajar jika terjadi perbedaan antar institusi.
“Setiap institusi punya skenario dan asumsi masing-masing. Bahkan dari pemerintah AS sendiri, kebijakan tarifnya sering berubah-ubah,” katanya.
Helmi merujuk pada keputusan tarif AS yang diumumkan 2 April lalu yang awalnya tampak sangat agresif. Namun kemudian direvisi beberapa hari setelahnya. Sementara tarif terhadap Tiongkok justru diperberat.
“Jadi wajar saja kalau proyeksi dampak ekonominya beda-beda,” tandasnya.