Kompol Cosmas Dipecat Tidak Hormat: Tangis Pilu Akhiri Karir 20 Tahun di Kepolisian
Kompol Cosmas: Karir 20 Tahun di Kepolisian Berakhir Dipecat Tidak Hormat, Kompol Cosmas menangis tersedu-sedu setelah dipecat tidak hormat dari Polri… Danyon Brimob ini kehilangan karir 20 tahun karena kasus rantis lindas ojol Affan!
Kompol Cosmas Kaju Gae resmi dipecat tidak hormat dari kepolisian setelah Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) memutuskan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) pada Rabu (3/9/2025). Danyon Resimen 4 Korbrimob Polri ini menangis tersedu-sedu saat putusan dibacakan di TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan, mengakhiri karir gemilang selama 20 tahun di institusi kepolisian akibat keterlibatannya dalam tragedi rantis Brimob yang melindas driver ojol Affan Kurniawan hingga tewas di Pejompongan, Jakarta Pusat pada 28 Agustus 2025.
Kronologi Kasus: Dari Tragedi Hingga Pemecatan
Insiden Pejompongan yang Mengubah Segalanya
Tragedi bermula pada malam Kamis, 28 Agustus 2025, ketika kendaraan taktis (rantis) Brimob jenis Barakuda melindas Affan Kurniawan (20), seorang driver ojol asal Jatipulo, Palmerah, Jakarta Barat, di kawasan Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kompol Cosmas selaku Danyon Resimen 4 Korbrimob Polri berada dalam rantis tersebut bersama 6 anggota lainnya saat insiden tragis ini terjadi.
Berdasarkan pengakuan sopir rantis, Bripka R, kendaraan taktis tersebut menerobos jalan karena diserang massa dengan lemparan batu, sehingga tidak bisa berhenti. Namun, keputusan untuk menerobos kerumunan massa inilah yang berujung pada tragedi yang merenggut nyawa Affan Kurniawan yang sedang mengantarkan pesanan pelanggan.
Affan Kurniawan sempat dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) namun nyawanya tidak tertolong. Kematian driver ojol yang dikenal sebagai sosok rajin dan tulang punggung keluarga ini memicu kemarahan publik dan tuntutan keadilan dari berbagai kalangan masyarakat.
Proses Hukum dan Investigasi Mendalam
Pasca tragedi Pejompongan, Mabes Polri melalui Divisi Propam segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap ketujuh anggota yang berada dalam rantis saat kejadian. Mereka adalah Kompol Cosmas Kaju Gae, Aipda M Rohyani, Briptu Danang, Bripda Mardin, Bripka Rohmat, Baraka Jana Edi, dan Baraka Yohanes David.
Pemeriksaan intensif dilakukan di ruang Biro Paminal Divpropam Polri, Jakarta Selatan, pada Jumat (29/8/2025). Investigasi ini mencakup rekonstruksi kejadian, analisis video rekaman, serta pemeriksaan psikologis terhadap seluruh anggota yang terlibat untuk menentukan tingkat tanggung jawab masing-masing.
Sebagai komandan di lapangan, Kompol Cosmas dinilai memiliki tanggung jawab terbesar dalam insiden ini. Posisinya sebagai Danyon yang seharusnya memberikan arahan taktis kepada anak buahnya menjadi fokus utama dalam penjatuhan sanksi. Keputusan untuk menerobos kerumunan massa tanpa prosedur pengamanan yang memadai dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap kode etik dan profesi kepolisian.
Sidang KKEP: Proses dan Putusan yang Menentukan
Jalannya Persidangan dan Dakwaan
Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) digelar di TNCC Mabes Polri untuk menentukan nasib Kompol Cosmas dan anggota lainnya yang terlibat dalam tragedi rantis Brimob. Persidangan berlangsung tertutup namun hasilnya diumumkan secara terbuka kepada media dan publik.
Dalam sidang tersebut, Kompol Cosmas didakwa melanggar pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, khususnya terkait kelalaian dalam menjalankan tugas yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Dakwaan juga menyentuh aspek pelanggaran HAM dan prosedur operasi standar dalam penanganan kerumunan massa.
Majelis hakim etik mempertimbangkan berbagai faktor dalam menjatuhkan putusan, termasuk rekam jejak Kompol Cosmas selama berkarir, tingkat kesalahan dalam insiden, dampak terhadap korban dan keluarga, serta pengaruh terhadap citra institusi kepolisian. Akhirnya, sidang KKEP memutuskan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai hukuman terberat yang bisa dijatuhkan dalam ranah administratif kepolisian.
Reaksi Emosional dan Permohonan Maaf
Kompol Cosmas terlihat menangis tersedu-sedu ketika putusan PTDH dibacakan oleh majelis sidang. Tangisan pilu seorang perwira yang telah mengabdi selama dua dekade ini mencerminkan penyesalan mendalam atas tragedi yang terjadi. Karir cemerlang yang dibangun selama 20 tahun harus berakhir dengan cara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Dalam kesempatan tersebut, Kompol Cosmas juga menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan Polri dan rekan-rekan yang sedang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Permohonan maaf ini menunjukkan pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat dan dampak negatifnya terhadap institusi kepolisian secara keseluruhan.
“Saya menyadari kesalahan saya telah mencoreng nama baik institusi yang saya cintai selama 20 tahun. Saya memohon maaf kepada keluarga korban, rekan-rekan Polri, dan seluruh masyarakat Indonesia,” ungkap Kompol Cosmas dengan suara bergetar saat memberikan pernyataan terakhirnya sebagai anggota Polri.
Profil Kompol Cosmas: Karir Gemilang yang Berakhir Tragis
Rekam Jejak dan Prestasi Selama Berkarir
Kompol Cosmas Kaju Gae dikenal sebagai perwira yang memiliki rekam jejak cukup baik selama berkarir di kepolisian. Lulusan Akpol tahun 2004 ini telah menjalani berbagai penugasan di berbagai satuan, mulai dari tingkat Polres hingga Mabes Polri. Pengalaman lapangan yang luas membuatnya dipercaya memimpin Batalyon Resimen 4 Korbrimob Polri, satuan elite yang menangani situasi keamanan tinggi.
Selama berkarir, Kompol Cosmas tercatat pernah mendapat beberapa penghargaan atas dedikasinya dalam menjaga kamtibmas. Ia pernah terlibat dalam berbagai operasi keamanan nasional, termasuk pengamanan pemilu, penanganan konflik sosial, dan operasi anti-terorisme. Kepemimpinannya di Brimob dinilai tegas namun tetap mengedepankan aspek kemanusiaan dalam setiap operasi.
Namun, tragedi Pejompongan menjadi noda hitam yang tidak bisa dihapus dalam catatan karirnya. Keputusan yang diambil dalam hitungan detik saat menghadapi kerumunan massa tersebut berujung pada konsekuensi yang harus ditanggung seumur hidup. Kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi institusi kepolisian tentang pentingnya prosedur operasi standar yang ketat dalam setiap penugasan.
Dampak Pemecatan Terhadap Keluarga dan Masa Depan
Selain dipecat, Kompol Cosmas juga dihukum dengan penempatan dalam tempat khusus (patsus), yang berarti ia kehilangan seluruh hak dan fasilitas sebagai anggota Polri. Pemecatan tidak hormat ini berdampak signifikan terhadap aspek finansial, sosial, dan psikologis, baik bagi dirinya maupun keluarga.
Kehilangan status sebagai perwira Polri berarti Kompol Cosmas tidak lagi berhak atas pension, tunjangan kesehatan, dan berbagai fasilitas lainnya yang selama ini dinikmati. Stigma sosial sebagai perwira yang dipecat tidak hormat juga akan menjadi beban psikologis yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi keluarga, khususnya istri dan anak-anaknya, pemecatan ini tentu menjadi pukulan berat. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kepala keluarga yang selama ini menjadi kebanggaan kini harus menanggung konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas. Masa depan yang tadinya terjamin dengan status kepegawaian kini menjadi tidak pasti dan memerlukan perjuangan ekstra untuk membangun kehidupan baru.
Analisis Yuridis Kasus dan Sanksi
Dari perspektif hukum administrasi, keputusan KKEP untuk memecat Kompol Cosmas tidak hormat sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelanggaran berat yang mengakibatkan hilangnya nyawa memang layak mendapat sanksi maksimal dalam ranah administratif kepolisian. Namun, kasus ini juga membuka ruang diskusi tentang aspek pidana yang mungkin menyusul.
Secara yuridis, tragedi rantis Brimob bisa dikategorikan sebagai kelalaian berat yang mengakibatkan matinya orang lain. Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain bisa diterapkan dalam kasus ini. Namun, kompleksitas situasi lapangan saat itu, termasuk ancaman dari massa, menjadi pertimbangan penting dalam menentukan unsur kesengajaan atau kelalaian.
“Kasus ini menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap prosedur operasi standar dalam setiap penugasan kepolisian. Tidak ada situasi yang membenarkan tindakan yang mengancam keselamatan warga sipil,” ungkap Dr. Ahmad Sofyan, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, dalam analisisnya terkait kasus ini.
Implikasi Terhadap Reformasi Kepolisian
Tragedi Pejompongan dan pemecatan Kompol Cosmas menjadi momentum penting untuk reformasi internal kepolisian, khususnya dalam aspek penggunaan kekuatan dan prosedur penanganan kerumunan massa. Kasus ini menunjukkan masih adanya gap antara standar internasional penggunaan kekuatan dengan praktek di lapangan.
Polri perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelatihan anggota, khususnya dalam situasi crowd control dan riot management. Penggunaan kendaraan taktis dalam situasi kerumunan massa harus diatur dengan SOP yang lebih ketat untuk mencegah terjadinya tragedi serupa di masa mendatang.
Aspek akuntabilitas juga menjadi fokus penting dalam reformasi ini. Pemecatan Kompol Cosmas menunjukkan keseriusan Polri dalam menegakkan disiplin internal, namun harus diikuti dengan langkah-langkah preventif yang lebih komprehensif. Transparansi dalam proses penegakan disiplin juga perlu ditingkatkan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Reaksi Masyarakat dan Keluarga Korban
Pemecatan Kompol Cosmas mendapat respons beragam dari masyarakat. Sebagian besar menilai keputusan ini sebagai langkah yang tepat dan mencerminkan komitmen Polri terhadap keadilan. Namun, ada juga yang menganggap sanksi ini belum cukup dan menuntut proses hukum pidana yang lebih tegas.
Keluarga Affan Kurniawan menyambut positif keputusan pemecatan ini sebagai langkah awal menuju keadilan. Namun, mereka tetap menuntut proses hukum pidana dilanjutkan untuk memberikan keadilan yang lebih komprehensif. “Kami mengapresiasi keputusan Polri, tapi kami tetap menunggu proses hukum pidana berjalan,” ujar Fachrudin, sepupu nenek almarhum Affan.
Komunitas driver ojol juga memberikan respons positif terhadap pemecatan ini. Mereka menilai keputusan ini sebagai bentuk perlindungan terhadap profesi mereka yang sering berisiko tinggi di jalanan. Namun, mereka juga menuntut kompensasi yang layak bagi keluarga korban dan jaminan keamanan yang lebih baik dari aparat keamanan.
Liputan Media dan Opini Publik
Media massa memberikan perhatian besar terhadap kasus pemecatan Kompol Cosmas ini. Liputan yang intens sejak tragedi Pejompongan hingga proses sidang KKEP menunjukkan tingginya minat publik terhadap kasus ini. Berbagai media menyoroti aspek yang berbeda, mulai dari kronologi kejadian hingga analisis hukum dan etika kepolisian.
Opini publik di media sosial juga menunjukkan polarisasi yang menarik. Di satu sisi, ada yang mendukung pemecatan sebagai bentuk akuntabilitas. Di sisi lain, ada yang bersimpati dengan nasib Kompol Cosmas yang harus menanggung konsekuensi berat atas keputusan dalam situasi yang sulit. Diskusi ini mencerminkan kompleksitas kasus dan berbagai perspektif yang ada dalam masyarakat.
Peran media dalam kasus ini juga menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses penegakan hukum dan disiplin internal kepolisian. Liputan yang objektif dan berimbang membantu masyarakat memahami kompleksitas kasus dan proses hukum yang berjalan, sehingga tercipta diskusi publik yang lebih konstruktif.
Pelajaran Berharga untuk Institusi Kepolisian
Kasus Kompol Cosmas memberikan pembelajaran berharga bagi institusi kepolisian dalam berbagai aspek. Pertama, pentingnya kepatuhan terhadap prosedur operasi standar dalam setiap situasi, terlepas dari tingkat ancaman yang dihadapi. Kedua, perlunya pelatihan yang lebih intensif dalam crowd management dan de-eskalasi konflik.
Aspek kepemimpinan juga menjadi fokus pembelajaran penting. Sebagai komandan di lapangan, Kompol Cosmas memiliki tanggung jawab untuk membuat keputusan yang tepat dalam situasi sulit. Kasus ini menunjukkan pentingnya kemampuan decision making yang baik dan mempertimbangkan segala konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil.
Institusi kepolisian juga perlu memperkuat sistem internal control dan early warning untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa. Mekanisme pengawasan yang efektif dan budaya organisasi yang mengutamakan accountability harus terus diperkuat untuk menjaga integritas institusi.
Rekomendasi Reformasi Sistem Kepolisian
Berdasarkan kasus ini, beberapa rekomendasi reformasi perlu diimplementasikan untuk mencegah tragedi serupa di masa mendatang. Pertama, perlu ada revisi SOP penggunaan kendaraan taktis dalam situasi crowd control dengan standar keselamatan yang lebih ketat. Kedua, peningkatan kualitas pelatihan anggota dalam aspek penanganan massa dan penggunaan kekuatan.
Sistem akuntabilitas internal juga perlu diperkuat dengan mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan transparan. Body camera dan teknologi perekam lainnya bisa diimplementasikan untuk memastikan setiap tindakan anggota terdokumentasi dengan baik. Hal ini akan membantu proses investigasi jika terjadi insiden dan sekaligus menjadi alat pembelajaran.
Aspek mental health dan psychological support juga perlu mendapat perhatian lebih besar. Anggota yang bertugas dalam situasi high-risk perlu mendapat dukungan psikologis yang memadai untuk menjaga stabilitas mental dan kemampuan decision making yang optimal. Program peer support dan konseling reguler bisa menjadi bagian dari reformasi ini.
Akhir Karir yang Menyisakan Pelajaran Berharga
Pemecatan tidak hormat Kompol Cosmas Kaju Gae dari kepolisian menandai berakhirnya karir cemerlang selama 20 tahun dengan cara yang tragis dan menyisakan luka mendalam bagi semua pihak. Tangis tersedu-sedu yang mengalir ketika putusan PTDH dibacakan bukan hanya mencerminkan penyesalan pribadi, tetapi juga simbol dari beratnya konsekuensi yang harus ditanggung ketika seorang perwira gagal menjalankan tugas dengan penuh kehati-hatian dan mengutamakan keselamatan masyarakat.
Tragedi yang menewaskan Affan Kurniawan, driver ojol berusia 20 tahun yang sedang mengantarkan pesanan pelanggan di malam yang naas itu, menjadi reminder pahit bahwa setiap keputusan dalam menjalankan tugas kepolisian memiliki dampak yang bisa mengubah hidup banyak orang. Kasus ini menunjukkan pentingnya prosedur operasi standar yang ketat, pelatihan berkelanjutan dalam crowd management, dan sistem akuntabilitas yang transparan dalam institusi kepolisian modern.
Permohonan maaf Kompol Cosmas kepada pimpinan Polri dan rekan-rekan yang bertugas menjaga kamtibmas menunjukkan pengakuan atas kesalahan dan dampak negatifnya terhadap citra institusi. Namun, penyesalan saja tidak cukup untuk mengembalikan nyawa yang telah hilang atau menyembuhkan luka keluarga korban. Yang dibutuhkan adalah komitmen konkret untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem dan budaya kepolisian.
Saatnya institusi kepolisian mengambil pelajaran berharga dari tragedi ini untuk memastikan tidak ada lagi nyawa tak bersalah yang melayang akibat kelalaian atau keputusan yang buruk. Dukung transparansi dalam proses hukum yang sedang berjalan, pantau implementasi reformasi kepolisian, dan berpartisipasilah dalam membangun sistem keamanan yang lebih humanis dan akuntabel. Mari kita jadikan tragedi Affan Kurniawan sebagai momentum untuk menciptakan kepolisian yang benar-benar melayani dan melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.