Dalam sebuah diskusi mengenai Pembangunan Pangan di Tanah Merdeka, muncul pertanyaan dari seorang peserta yang mewakili LSM Petani Center. Ia bertanya mengenai alasan Presiden Prabowo lebih menekankan pencapaian swasembada pangan dalam merancang strategi pembangunan pangan.
Penekanan yang berbeda dibanding Presiden Joko Widodo yang lebih menitikberatkan pada kedaulatan pangan. Sementara itu, Presiden SBY memilih lebih mengutamakan ketahanan atau kemandirian pangan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu lebih baik jika Pak SBY, Pak Jokowi, dan Pak Prabowo secara langsung menyampaikan pendapat mereka. Mereka pasti memiliki alasan masing-masing, sesuai dengan kondisi dan situasi yang mereka hadapi.
Berdasarkan kondisi yang ada, tulisan ini lebih menekankan pada salah satu program prioritas Presiden Prabowo. Presiden Prabowo berkeinginan mencapai kemandirian pangan dalam waktu secepat mungkin.
Jika kita mempelajari Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, terdapat tiga aliran pembangunan pangan yang bersatu dalam satu pandangan utuh yaitu ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Undang-undang ini jarang membahas swasembada pangan secara rinci.
Ini bisa dipahami, karena era swasembada pangan dianggap telah berakhir dan dianggap sebagai “lagu lama” yang termasuk dalam kategori lagu kenangan. Pada masa itu, swasembada pangan, terutama swasembada beras lebih ditempatkan sebagai kisah keberhasilan masa lalu, yang sangat penting untuk dijadikan prestasi yang membanggakan dalam sejarah pembangunan pangan negara ini.
Namun, ketika negara ini dipimpin oleh Presiden Prabowo, arah dan strategi pembangunan pangan kembali menempatkan swasembada pangan sebagai tujuan utama yang harus dicapai. Oleh karena itu, hanya dalam waktu singkat, Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Presiden Prabowo telah menghasilkan berbagai inovasi di sektor pangan dengan semangat dasar untuk mempercepat tercapainya swasembada pangan.
Belum genap setahun Presiden Prabowo memimpin negara dan tanah air yang dicintai, setidaknya terdapat beberapa kebijakan dan program yang langsung berfokus pada pencarian jalan keluar. Tidak lagi hanya sekadar membahas wacana, apalagi hanya sebatas omongan belaka.
Kebijakan strategis yang melepaskan Perum Bulog dari statusnya sebagai badan usaha milik negara (BUMN) menjadi lembaga otonom pemerintah langsung di bawah presiden, patut mendapat apresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Bulog baru yang saat ini sedang diselesaikan dalam hal regulasi dan tata kerja Bulog ke depan di bawah pengawasan Menteri Koordinator Bidang Pangan, benar-benar akan diberikan peran khusus dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan.
Dengan transformasi institusi Perum Bulog yang telah dijelaskan, pemerintah kembali mengambil langkah cerdas terkait komitmen pemerintah dalam memastikan pembelian hasil panen petani saat musim panen tiba. Petani tidak perlu khawatir menghadapi penurunan harga gabah pada saat panen.
Karena pemerintah menjamin, seberapa banyak hasil panen petani, seluruh gabah dan beras akan dibeli oleh pemerintah. Pembelian dilakukan dengan harga yang layak dan tidak merugikan para petani.
Bulog merupakan alat negara, bukan perusahaan bisnis Bulog adalah sarana pemerintah, bukan entitas usaha Bulog merupakan lembaga negara, bukan pelaku bisnis Bulog berfungsi sebagai alat pemerintah, bukan sebagai perusahaan Bulog merupakan organisasi pemerintah, bukan badan bisnis
Dengan semangat tersebut, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) beras, dari Rp6000 per kilogram menjadi Rp6500 per kilogram. Pemerintah pasti memiliki alasan khusus sehingga kenaikan HPP beras hanya sebesar Rp500. Padahal, perubahan HPP beras mengalami kenaikan sebesar Rp1000 dari Rp5000 menjadi Rp6000 (Peraturan Nomor 4 Tahun 2024).
Bulog, di masa depan, diharapkan muncul sebagaiofftakeryang akan membeli beras dan gabah petani. Sebagai sahabat sejati petani, Bulog tidak akan terlibat dalam menentukan harga seperti yang selama ini dilakukan oleh oknum “mafia beras”.
Bulog pasti akan mematuhi harga gabah dan beras sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Catat! Bulog kini bukan lagi sebagai pelaku usaha, tetapi sekarang Bulog menjadi “alat negara”.
Inovasi cerdas lainnya adalah melakukan penyederhanaan terhadap saluran distribusi pupuk bersubsidi yang sebelumnya terlihat rumit. Dengan adanya deregulasi dan debirokratisasi, kini hanya ada 3 lembaga yang terlibat dalam saluran distribusi pupuk bersubsidi.
Tiga instansi tersebut yaitu Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, serta distributor/kios/gapoktan. Surat rekomendasi dari kepala daerah tidak lagi diperlukan.
Penghapusan saluran distribusi pupuk subsidi ini melengkapi kebijakan sebelumnya. Mulai tahun 2024, pemerintah telah meningkatkan jumlah alokasi pupuk bersubsidi bagi petani menjadi dua kali lipat dari yang selama ini berlaku.
Awalnya, alokasi pupuk bersubsidi mencapai 4,7 juta ton, kini telah ditambah dan ditingkatkan menjadi 9,55 juta ton. Diharapkan dengan tindakan ini, kita tidak lagi mendengar keluhan petani mengenai kekurangan pupuk bersubsidi.
Selain langkah-langkah yang telah diambil sebelumnya, dukungan untuk mencapai swasembada pangan terus dikerjakan oleh pemerintah. Dengan menerapkan prinsip sinergi dan kerja sama, beberapa kementerian/lembaga sedang mengembangkan program yang bersifat lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan. Misalnya, Kementerian Pertanian bekerja sama dengan Kementerian PUPR dan TNI AD dalam memperbaiki saluran irigasi yang sudah lama tidak terawat.
Kembali pada semangat swasembada pangan. Seperti yang kita ketahui, pemahaman tentang swasembada pangan merujuk pada kemampuan sebuah negara dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya sendiri, tanpa ketergantungan pada impor dari negara lain.
Ketahanan pangan merupakan salah satu tujuan utama setiap negara, termasuk Indonesia. Ketahanan pangan menjadi fondasi utama kedaulatan bangsa dan menjadi prioritas dalam menghadapi tantangan global yang semakin rumit.
Melihat perkembangan produksi pangan strategis, sampai saat ini kita masih mengimpor berbagai komoditas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula pasir, bawang putih, dan sebagainya. Hal ini membuat upaya mencapai swasembada pangan pada 2027 tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan dan hambatan yang perlu diatasi.
Kata kunci tercapainya swasembada pangan ditandai dengan adanya produksi pangan yang melimpah, sehingga mampu memperkuat ketersediaan pangan di tingkat nasional. Ketersediaan pangan yang stabil merupakan salah satu aspek penting dalam menciptakan ketahanan pangan yang berkualitas. Dapat juga disimpulkan bahwa swasembada pangan menjadi faktor utama dalam mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan.
Pernyataan: Artikel ini bukan hasil karya jurnalistik dari Pikiran Rakyat. Kolom opini merupakan wadah untuk para akademisi/ahli/praktisi di bidang tertentu, dalam menyampaikan pandangan atau gagasannya.***