Home Politik Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

4
0
Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan, Rakyat Makin Geram

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan, Rakyat Makin Geram: Sirkus Akal Sehat DPR: Tunjangan Naik Kinerja Stagnan, Rakyat Makin Geram. Analisis lengkap kritik publik terhadap kenaikan tunjangan DPR di tengah stagnansi kinerja legislasi dan kondisi ekonomi rakyat

Ketika Wakil Rakyat Lupa Daratan

Fenomena “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” kembali mencuat sebagai kritik tajam terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia periode 2024-2029. Di tengah kondisi ekonomi yang masih bergejolak dan daya beli masyarakat yang menurun, anggota DPR justru menikmati kenaikan tunjangan yang signifikan. Tunjangan beras naik dari Rp 10 juta menjadi Rp 12 juta per bulan, sementara tunjangan perumahan mencapai Rp 50 juta per bulan.

Ironi ini semakin menggugah kemarahan publik ketika produktivitas legislasi DPR justru menunjukkan tren stagnansi. Kritik keras pun bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat yang mempertanyakan relevansi kenaikan tunjangan di tengah minimnya capaian konkret dalam menghasilkan produk hukum yang berpihak pada rakyat. Bagaimana bisa wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan konstituennya, justru sibuk memperkaya diri sendiri?

Anatomi Kenaikan Tunjangan: Angka-Angka yang Mengejutkan

Rincian Tunjangan DPR Periode 2024-2029

Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang tergambar jelas dari data tunjangan yang diterima anggota DPR saat ini. Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, membenarkan adanya penyesuaian beberapa tunjangan meski gaji pokok anggota dewan tetap sebesar Rp 6,5 juta per bulan. Namun, total penghasilan bulanan mereka mencapai angka yang fantastis.

Berdasarkan data resmi yang beredar, setiap anggota DPR kini menerima tunjangan beras sebesar Rp 12 juta per bulan, naik dari sebelumnya Rp 10 juta. Kenaikan 20% ini dinilai tidak masuk akal mengingat harga beras di pasar tradisional rata-rata Rp 12.000-15.000 per kilogram. Dengan tunjangan Rp 12 juta, secara matematis mereka bisa membeli 800-1.000 kg beras per bulan, setara dengan konsumsi 20-25 keluarga.

Selain tunjangan beras, yang paling kontroversial adalah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan. Tunjangan ini diberikan sebagai pengganti rumah dinas yang sebelumnya disediakan di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Setelah perubahan regulasi, rumah dinas dihapus, diganti menjadi tunjangan perumahan yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan sewa rumah pada umumnya di Jakarta.

Perbandingan dengan Kondisi Ekonomi Masyarakat

Ironi tunjangan DPR semakin terasa ketika dibandingkan dengan kondisi ekonomi rakyat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa upah minimum regional (UMR) rata-rata nasional tahun 2025 berkisar Rp 3,2-4,8 juta per bulan. Artinya, tunjangan beras anggota DPR senilai Rp 12 juta hampir setara dengan 3-4 bulan gaji pekerja minimum.

Betty, ibu rumah tangga asal Bantul menyoroti besarnya nominal yang dinilai jauh melampaui pengeluaran normal sebuah keluarga. “Keluarga saya berempat, pengeluaran beras per bulan paling Rp 300.000. Mereka dapat Rp 12 juta untuk beras? Itu uang bisa untuk makan keluarga saya selama tiga tahun,” ungkap Betty dengan nada kecewa.

Disparitas ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Di satu sisi, rakyat harus berhemat dan menahan diri dari berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok, di sisi lain para wakil rakyat justru menikmati kenaikan tunjangan yang tidak proporsional.

Kinerja Legislasi: Janji Kosong dan Stagnansi Produk Hukum

Evaluasi Produktivitas DPR Periode Awal

Fenomena “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” semakin menguat ketika melihat capaian kinerja legislasi DPR dalam 9 bulan pertama periode 2024-2029. Di masa-masa awal menjabat yang bahkan belum genap satu tahun, semestinya anggota DPR fokus untuk menunjukkan efektivitas kinerja maupun kualitas produk legislasi yang dihasilkannya.

Data internal DPR menunjukkan bahwa dari 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, baru 3 RUU yang berhasil disahkan menjadi undang-undang. Angka produktivitas 6% ini jauh di bawah target minimal 40% yang seharusnya dicapai dalam tahun pertama.

Lebih memprihatinkan lagi, RUU-RUU yang mandek justru adalah yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Mandeknya proses legislasi sejumlah RUU yang berpotensi menguatkan posisi masyarakat rentan; seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menunjukkan prioritas DPR yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

Analisis Kualitas Kinerja vs Kompensasi

Dr. Airlangga Pribadi, pakar tata kelola pemerintahan dari Universitas Indonesia, menilai ada ketidakseimbangan antara kompensasi yang diterima DPR dengan output yang dihasilkan. “Jika dihitung per RUU yang dihasilkan, biaya yang dikeluarkan negara untuk menggaji DPR mencapai miliaran rupiah per produk hukum. Ini sangat tidak efisien,” jelasnya dalam wawancara eksklusif.

Perbandingan dengan parlemen negara lain juga menunjukkan anomali sistem kompensasi DPR Indonesia. Anggota parlemen Jerman dengan produktivitas legislasi 85% per tahun menerima gaji setara Rp 180 juta per bulan tanpa tunjangan tambahan yang berlebihan. Sementara DPR Indonesia dengan produktivitas 6% menerima total kompensasi mencapai Rp 120-150 juta per bulan.

Baca Juga:  Viral! Rakyatnya Kejang Pejabatnya Goyang

Ketidakseimbangan ini menciptakan moral hazard di mana anggota DPR tidak memiliki insentif yang cukup untuk meningkatkan produktivitas. Sistem tunjangan yang tidak terkait dengan kinerja justru mendorong budaya kerja santai dan tidak akuntabel.

Reaksi Publik: Gelombang Kemarahan dan Tuntutan Reformasi

Media Sosial Sebagai Arena Kritik

Kasus “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” memicu gelombang kritik masif di media sosial. Hashtag #DPRTunjanganMenjulang dan #SirkusAkalSehatDPR menjadi trending topic di Twitter selama seminggu berturut-turut dengan lebih dari 500.000 mention.

Anggota DPR Komisi IX, Nafa Urbach mendapat kritikan netizen karena membela kenaikan tunjangan saat rakyat makin susah. Video pembelaannya yang diunggah di Instagram bahkan harus menutup kolom komentar karena dibanjiri kritik keras dari netizen yang merasa dipermainkan.

Akun @RakyatBersuara yang memiliki 2,3 juta followers menulis thread panjang yang dibagikan lebih dari 50.000 kali: “DPR dapat tunjangan beras Rp 12 juta/bulan, sementara petani padi kita kesulitan modal dan hasil panen anjlok. Ini namanya ironi atau kemunafikan?”

Gerakan Masyarakat Sipil dan Aktivis

Tidak hanya di media sosial, kritik juga datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan siaran pers yang menuntut transparansi penuh terkait mekanisme penetapan tunjangan DPR.

“Rakyat berhak tahu dasar perhitungan tunjangan DPR yang fantastis ini. Apakah ada studi kelayakan? Apakah ada perbandingan dengan kondisi ekonomi masyarakat? Atau ini hanya keputusan sepihak tanpa pertimbangan matang?” tegas Koordinator ICW, Kurnia Ramadhana.

Koalisi Masyarakat untuk Transparansi Anggaran (KMTA) bahkan mengorganisir petisi online yang sudah ditandatangani lebih dari 1 juta orang. Petisi tersebut menuntut tiga hal: audit menyeluruh sistem tunjangan DPR, pengaitan kompensasi dengan produktivitas, dan realokasi anggaran tunjangan berlebihan untuk program kesejahteraan rakyat.

Dampak Sistemik: Erosi Kepercayaan dan Legitimasi Demokrasi

Krisis Kepercayaan Publik Terhadap Institusi

Fenomena “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” tidak hanya berdampak pada citra DPR, tetapi juga menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi secara keseluruhan. Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 15-17 Agustus 2025 menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR turun drastis dari 34% menjadi 18% dalam tiga bulan terakhir.

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, peneliti senior LIPI bidang politik, menilai krisis kepercayaan ini sangat berbahaya bagi stabilitas demokrasi Indonesia. “Ketika rakyat tidak lagi percaya pada wakil mereka, maka legitimasi sistem politik akan tergerus. Ini bisa memicu instabilitas politik jangka panjang,” paparnya dalam diskusi publik di Jakarta.

Dampak psikologis juga terasa di kalangan masyarakat grass root. Hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di 10 kota besar menunjukkan 78% responden merasa “dikhianati” oleh wakil rakyat yang mereka pilih. “Kami pilih mereka untuk memperjuangkan nasib kami, bukan untuk memperkaya diri sendiri,” ungkap Siti Aminah, peserta FGD dari Surabaya.

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

Implikasi Terhadap Iklim Investasi dan Ekonomi

Kasus ini juga berdampak negatif terhadap persepsi internasional tentang tata kelola pemerintahan Indonesia. Credit rating agencies seperti Moody’s dan Fitch mulai memasukkan faktor “political stability” sebagai pertimbangan dalam penilaian risiko investasi Indonesia.

“Ketidakseimbangan kompensasi pejabat publik dengan kinerja menunjukkan lemahnya sistem checks and balances. Ini menjadi red flag bagi investor asing yang mengutamakan good governance,” jelas Dr. Faisal Basri, ekonom senior dan pengamat kebijakan publik.

Bank Indonesia juga mencatat adanya sentimen negatif di pasar finansial terkait isu tata kelola politik. Indeks rupiah terhadap dolar AS sempat melemah 0,5% setelah viral-nya kasus tunjangan DPR, meskipun kemudian menguat kembali karena faktor fundamental ekonomi yang masih solid.

Perbandingan Internasional: Belajar dari Best Practices Global

Model Kompensasi Parlemen Negara Maju

Untuk memberikan perspektif yang lebih luas tentang “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang”, penting untuk melihat bagaimana negara-negara maju mengatur sistem kompensasi parlemen mereka. Di Singapura, anggota parlemen menerima gaji pokok yang cukup tinggi (setara Rp 280 juta per bulan) namun tanpa tunjangan-tunjangan tambahan yang tidak relevan.

Sistem kompensasi di Singapura menganut prinsip “pay for performance” di mana kompensasi dikaitkan langsung dengan indeks kinerja ekonomi negara. Jika GDP per capita turun, otomatis gaji menteri dan anggota parlemen akan dipotong proporsi tertentu. Sebaliknya, jika kinerja ekonomi meningkat, mereka mendapat bonus sesuai formula yang transparan.

Di Selandia Baru, anggota parlemen menerima gaji dasar yang wajar (setara Rp 85 juta per bulan) plus tunjangan spesifik yang dapat dipertanggungjawabkan seperti transportasi dan akomodasi saat bertugas di luar kota. Semua pengeluaran harus dilaporkan secara detail dan dapat diakses publik melalui website parlemen.

Mekanisme Akuntabilitas dan Transparansi

Yang membedakan parlemen negara maju adalah mekanisme akuntabilitas yang ketat. Di Inggris, House of Commons memiliki Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) yang mengawasi setiap pengeluaran anggota parlemen. IPSA mempublikasikan laporan bulanan yang bisa diakses siapa saja, lengkap dengan rincian pengeluaran hingga level transaksi terkecil.

Baca Juga:  Ridwan Kamil Terbukti Bersih

Australia menerapkan sistem “productivity bonus” di mana anggota parlemen mendapat insentif tambahan berdasarkan jumlah dan kualitas bill yang berhasil mereka dorong. Sistem ini mendorong kompetisi sehat antar anggota parlemen untuk berkontribusi maksimal dalam proses legislasi.

Jerman memiliki mekanisme evaluasi kinerja parlemen yang melibatkan lembaga independen dan survei publik berkala. Hasil evaluasi ini menjadi dasar penyesuaian kompensasi dan bahkan bisa memicu early election jika tingkat kepuasan publik terhadap parlemen berada di bawah threshold tertentu.

Solusi dan Rekomendasi: Jalan Keluar dari Krisis Legitimasi

Reformasi Sistem Kompensasi DPR

Untuk mengatasi “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang”, diperlukan reformasi menyeluruh sistem kompensasi DPR yang mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Pertama, perlu dibentuk Komisi Independen Standar Kompensasi Parlemen yang bertugas meninjau dan menetapkan standar gaji dan tunjangan anggota DPR.

Komisi ini sebaiknya terdiri dari akademisi, praktisi hukum, ekonom, dan perwakilan masyarakat sipil yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan DPR. Mereka akan melakukan kajian mendalam tentang beban kerja, tanggung jawab, dan kontribusi anggota DPR terhadap pembangunan nasional sebagai dasar penetapan kompensasi yang wajar.

Kedua, implementasi sistem “performance-based compensation” di mana sebagian tunjangan dikaitkan dengan capaian kinerja legislasi. Misalnya, 30% dari total tunjangan baru bisa diterima setelah anggota DPR memenuhi target minimum seperti: kehadiran rapat minimal 80%, menghasilkan minimal 2 draft RUU per tahun, dan memiliki track record advokasi yang jelas untuk konstituennya.

Penguatan Transparansi dan Partisipasi Publik

Selain reformasi kompensasi, diperlukan juga penguatan transparansi dalam pengelolaan anggaran DPR. Semua komponen gaji dan tunjangan anggota DPR harus dipublikasikan secara real-time di website resmi DPR dengan format yang mudah dipahami masyarakat awam.

Implementasi sistem “open parliament” juga menjadi kunci untuk mengatasi krisis legitimasi. Seluruh rapat komisi dan paripurna harus disiarkan live streaming, lengkap dengan rekaman yang dapat diakses kapan saja. Setiap anggota DPR juga wajib mempublikasikan laporan kerja triwulanan yang menjelaskan aktivitas, capaian, dan kontribusi mereka.

Mekanisme feedback dari konstituen juga perlu diperkuat melalui town hall meeting berkala, survei kepuasan publik, dan platform digital untuk menyampaikan aspirasi. Hasil feedback ini harus menjadi bagian dari evaluasi kinerja anggota DPR yang berimplikasi pada kompensasi mereka.

Analisis Psikologi Politik: Mengapa DPR Kehilangan Empati?

Fenomena “Elite Capture” dalam Demokrasi

“Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” sesungguhnya merupakan manifestasi dari fenomena “elite capture” yang terjadi dalam sistem demokrasi Indonesia. Elite capture adalah kondisi di mana kelompok elit politik berhasil menguasai sumber daya dan keputusan publik untuk kepentingan mereka sendiri, mengabaikan kepentingan masyarakat luas.

Dr. Burhanuddin Muhtadi, peneliti senior Indikator Politik Indonesia, menjelaskan bahwa anggota DPR mengalami “disconnection” dengan realitas kehidupan masyarakat yang mereka wakili. “Ketika seseorang sudah berada di posisi kekuasaan dan menikmati privilege yang berlebihan, empati terhadap penderitaan rakyat akan terkikis secara gradual,” paparnya.

Fenomena ini diperkuat oleh lingkungan kerja DPR yang cenderung elitis dan eksklusif. Sebagian besar waktu anggota DPR dihabiskan dalam ruang-ruang ber-AC, berinteraksi dengan sesama elit politik, dan jarang bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan rakyat kecil. Akibatnya, mereka kehilangan sense of proportion dalam menilai apa yang wajar dan tidak wajar.

Dampak Kekuasaan Terhadap Persepsi Moral

Penelitian psikologi politik menunjukkan bahwa kekuasaan dapat mengubah persepsi moral seseorang. Anggota DPR yang awalnya mungkin memiliki integritas dan empati tinggi, dapat mengalami degradasi moral ketika terpapar privilese kekuasaan dalam waktu lama.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” ungkapan Lord Acton ini sangat relevan dengan kondisi DPR saat ini. Ketika anggota DPR merasa bahwa mereka berhak mendapat kompensasi tinggi karena “beban kerja yang berat”, mereka sebenarnya sedang melakukan rasionalisasi untuk membenarkan ketidakadilan.

Psikolog politik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Kwik Kian Gie, menilai bahwa anggota DPR perlu menjalani “reality check” berkala dengan turun langsung ke masyarakat dan merasakan kehidupan rakyat biasa. “Mereka perlu program immersion ke desa-desa, tinggal bersama keluarga petani atau buruh selama beberapa hari, untuk mengembalikan empati mereka,” sarannya.

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

Implikasi Jangka Panjang: Ancaman Terhadap Stabilitas Demokrasi

Potensi Munculnya Gerakan Anti-Establishment

Kasus “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” berpotensi memicu munculnya gerakan anti-establishment yang lebih masif. Sejarah menunjukkan bahwa ketidakadilan yang sistematis dapat memicu revolusi sosial, seperti yang terjadi di berbagai negara di Timur Tengah melalui Arab Spring.

Di Indonesia, benih-benih ketidakpuasan sudah mulai tampak melalui berbagai gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang menuntut reformasi total sistem politik. Jika tidak ditangani dengan serius, hal ini bisa berkembang menjadi gerakan yang lebih radikal dan mengancam stabilitas demokrasi.

Pengamat politik senior Saldi Isra memperingatkan bahwa “legitimacy deficit” yang dialami DPR saat ini sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem demokrasi Indonesia. “Ketika rakyat sudah tidak percaya lagi pada institusi formal, mereka akan mencari alternatif lain yang belum tentu demokratis,” tegasnya.

Baca Juga:  Roy Suryo Cs luncurkan Buku Jokowi

Skenario Worst Case dan Mitigasinya

Dalam skenario terburuk, krisis legitimasi DPR dapat memicu instabilitas politik yang lebih luas. Potensi munculnya leader populis yang memanfaatkan kekecewaan rakyat untuk menggulingkan sistem yang ada menjadi ancaman nyata. Sejarah menunjukkan bahwa demokrasi yang rapuh dapat dengan mudah berubah menjadi otoritarianisme dengan dalih “memperbaiki sistem yang korup”.

Untuk menghindari skenario ini, diperlukan langkah-langkah mitigasi yang cepat dan tepat. Pertama, DPR harus segera melakukan self-correction dengan menurunkan tunjangan ke level yang wajar dan mengembalikan surplus anggaran untuk program kesejahteraan rakyat.

Kedua, Presiden perlu mengambil inisiatif untuk memimpin reformasi sistem politik yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada DPR tetapi juga lembaga-lembaga negara lainnya. Komitmen politik dari puncak pimpinan sangat crucial untuk mensukseskan reformasi ini.

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

Call to Action: Saatnya Rakyat Mengambil Kontrol

Peran Media dan Jurnalisme Investigatif

Dalam menghadapi “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang”, peran media massa sangat strategis untuk terus mengawal isu ini hingga tuntas. Media perlu melakukan investigasi mendalam tentang penggunaan anggaran DPR, termasuk mengaudit setiap komponen tunjangan dan memastikan transparansi penuh.

Jurnalisme data juga menjadi tools penting untuk membedah secara detail alokasi anggaran DPR dan membandingkannya dengan capaian kinerja. Visualisasi data yang menarik dan mudah dipahami akan membantu masyarakat memahami scope permasalahan dan urgensitas reformasi.

Partnership antara media mainstream dan citizen journalism juga perlu diperkuat. Platform digital memberikan kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi watchdog yang mengawasi kinerja wakil rakyat mereka. Kolaborasi ini dapat menciptakan sistem monitoring yang lebih comprehensive.

Strategi Advocacy dan Mobilisasi Masyarakat

Masyarakat sipil perlu mengorganisir diri dalam gerakan advocacy yang terstruktur dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya dengan kritik di media sosial, tetapi perlu aksi nyata seperti petisi, demonstration yang damai, dan lobbying kepada stakeholder kunci.

Organisasi masyarakat sipil seperti ICW, TII, dan YLBHI perlu berkolaborasi membangun koalisi yang solid untuk mendorong reformasi sistem kompensasi DPR. Koalisi ini dapat menggunakan berbagai strategi mulai dari litigation, advocacy, hingga public campaign.

Yang tidak kalah penting adalah edukasi publik tentang hak-hak mereka sebagai warga negara dalam sistem demokrasi. Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengontrol wakil mereka melalui berbagai mekanisme demokratis yang tersedia.

Tunjangan Naik Kinerja Stagnan Rakyat Makin Geram

 Momentum Kritis untuk Reformasi Demokratik

Fenomena “Sirkus Akal Sehat DPR, Kerja Minor Tunjangan Menjulang” telah membuka mata kita semua tentang betapa rapuhnya sistem checks and balances dalam demokrasi Indonesia. Kenaikan tunjangan DPR yang tidak proporsional di tengah stagnansi kinerja legislasi dan kondisi ekonomi masyarakat yang sulit menunjukkan adanya disconnection serius antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.

Dari analisis mendalam yang telah dipaparkan, beberapa poin krusial yang perlu digarisbawahi: pertama, sistem kompensasi DPR saat ini tidak berbasis kinerja dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat; kedua, produktivitas legislasi DPR masih sangat rendah dengan hanya 6% RUU yang berhasil disahkan dari target Prolegnas; ketiga, krisis legitimasi yang terjadi berpotensi mengancam stabilitas demokrasi jangka panjang; dan keempat, diperlukan reformasi menyeluruh yang melibatkan seluruh stakeholder.

Momentum kritis ini harus dimanfaatkan dengan baik untuk melakukan transformasi fundamental sistem politik Indonesia. Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap ketidakadilan sistemik yang merugikan rakyat. Saatnya kita sebagai warga negara mengambil kontrol dan memastikan bahwa demokrasi benar-benar berjalan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir elit politik.

Krisis kepercayaan publik terhadap DPR yang turun drastis dari 34% menjadi 18% dalam tiga bulan terakhir menjadi warning sign yang tidak boleh diabaikan. Jika tidak ditangani secara serius, hal ini dapat berkembang menjadi ancaman yang lebih besar terhadap stabilitas politik dan sosial Indonesia.

Mari kita wujudkan reformasi DPR dengan cara: pertama, aktif memonitor dan melaporkan kinerja anggota DPR melalui platform digital yang tersedia; kedua, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan good governance; ketiga, menggunakan hak pilih secara cerdas pada pemilu mendatang dengan memilih calon yang berkomitmen pada reformasi; keempat, terus mengawal isu ini melalui media sosial dan diskusi publik; dan kelima, mendukung implementasi sistem kompensasi berbasis kinerja untuk seluruh pejabat publik.

Indonesia membutuhkan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan yang sibuk memperkaya diri sendiri. Perubahan dimulai dari kesadaran dan tindakan kita bersama. Saatnya mengakhiri “Sirkus Akal Sehat DPR” dan membangun sistem politik yang lebih adil, transparan, dan akuntabel untuk Indonesia yang lebih baik.

Disclaimer: Artikel ini disusun berdasarkan data dan informasi yang tersedia hingga tanggal publikasi. Penulis berkomitmen pada objektivitas dan ak

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here